Fenomena Kesantunan Berbahasa dalam Pelayanan Publik

Ketikan Gen Z
0

 


Fenomena Kesantunan Berbahasa dalam Pelayanan Publik

Penulis: H. Asnawi, S.Pd, M.Hum

Editor: Dawami S.Sos, M.I.Kom

Perancang Sampul: Nur Hafizah

Penata Letak: Nini Nursima dan Shazrima

Pracetak dan Produksi: TafiDu Pers

ISBN : 978-623-98467-3-2

    Bahasa maka menunjukan siapa diri kita dan menunjukan jati diri bangsa. Pejuang, negarawan, ekonom dan juga Wakil Presiden Indonesia 1902-1980, Mohammad Hatta mengatakan kalau hamba-hamba Allah penghuni surgawi harus menggunakan bahasa yang halus dan sopan. Maknanya, benar dalam berbahasa akan berdampak kepada bagaimana orang lain mempersepsikan kita dalam sebuah interaksi sosial yang kita lakukan. Kalau tidak bisa dikatakan maka kredibilitas kita sebagai sang komunikator sudah tergadaikan oleh sebuah kesalahan dalam berbahasa. Baik dalam laku dan sikap keseharian maupun dalam melakukan komunikasi dengan orang lain. Apalagi sebagai orang Melayu, dimana hidup dan dibesarkan dengan selimut kebesaran laku yang berbudi, bermartabat dan bermarwah. Dimana dengan lebih mengedepan rasa dalam berkomunikasi sehingga sikap santun dan tenggang rasa memberikan nilai tersendiri dalam melihat bagaimana budaya Melayu yang tinggi ini bisa ikut menjelma dalam keseharian. Tidak hanya dalam kehidupan secara sosial kultural tapi juga merasuk ke dalam tata kelola organisasi pemerintahan maka disinilah keberhasilan resam budaya mampu mewarnai pola budaya organisasi. Pasalnya, dengan mengedepankan sikap santun dan tenggang rasa maka orang Melayu dalam berkomunikasi tidak mau menyinggung perasan orang lain. Untuk menyampaikan maksudnya selalu menggunakan kiasan, gurindam, syair, pantun dan lainnya sehingga yang terlihat adalah lebih santun dan sopan. Walaupun kata Datuk Tenas Effendi dalam buku saku Budaya Melayu mengandung nilai: Kegotongroyongan dan Tenggang Rasa mengatakan dengan sikap kesantunan dan tenggang rasa sehingga orang Melayu selalu dimanfaatkan pihak tertentu untuk kepentingan tertentu pula.

    Melihat kesantunan ini, bisa diperhatikan dari pantun Melayu Riau dikutip oleh penulis: Pisang emas dibawa berlayar, Masak sebiji di dalam peti, Utang emas dapat dibayar, Utang budi dibawa mati. Pantun itu membuktikan bahwa orang Melayu Riau sangat menjunjung tinggi kesantunan. Artinya, kalau masalah utang dapat kita dibayar, namun masalah budi sulit untuk membayarnya bahkan dibawa sampai kita mati. Itu bermakna kebaikan seseorang terhadap kita tidak dapat kita lupakan begitu saja. Buku ini menjadi menarik untuk dibaca karena kebahasan menjadi hal terdepan dalam memberikan pelayanan dalam bentuk komunikasi kepada masyarakat sehingga yang muncul adalah rasa dilayani, komunikatif dengan menjadikan bahasa sebagai media utamanya. Sebagai media utama maka bahasa digunakan hendaklah santun sehingga tidak menimbulkan persepsi ganda dalam interaksi sosial yang dilakukan. Apalagi dalam penelitian ini penulis memilih lokasi yang sangat tepat yaitu Kantor Pelayanan Terpadu (KPT) Kota Pekanbaru yang merupakan tempat layanan satu atap dalam melayani publik yang hendak berurusan dengan pemerintah daerah. Kebahasaan yang tepat akan memberikan nilai lebih dalam membuat pelayanan lebih baik kedepannya dan berintegritas. Integritas itu sendiri pada hakikatnya sudah ada sejak kita dunia ini ada. Apalagi integritas melekat di dalam diri setiap orang dan berkembang dalam kehidupan keluarga, suku, daerah dan bangsa. Begitu juga dengan masyarakat Melayu memiliki nilai-nilai budaya integritas yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakatnya. Lebih penting lagi, orang Melayu menurunkan nilai integritas dalam bentuk kejujuran, konsistensi dan keberanian dengan cara adat budaya Melayu yaitu mengajar dan mensosialisasikan kepada anak cucu melalui tutur kata dan perilaku sehari baik dalam kehidupan keluarga, masyarakat dan organisasi. Artinya, secara historis dan tertulis sudah nilai-nilai dalam Tunjuk Ajar Melayu dan Gurindam 12. 

    Kedua hal penting ini mewariskan Budaya Melayu di Provinsi Riau yaitu sumber adat dan implementasi adat istiadat. Budaya Melayu bersumber dari adat sebenar adat, adat yang diadatkan dan adat yang teradat. Apalagi menyangkut implementasi integritas pegawai negeri sipil sudah harus dilakukan. Bahkan sudah diatur pelaksanaannya di peraturan perundangan di Negara kita. Integritas pegawai negeri sipil sudah menjadi salah satu penentu keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pelayanan publik. Implementasi nilai kejujuran, konsistensi dan keberanian menjadi dasar pelayanan yang harus dimiliki seorang pegawai negeri sipil. Sedangkan implementasi adat-istiadat atau nilai-nilai budaya Melayu diwujudkan dalam bertutur kata, cara berpakaian, dan adab pergaulan. Oleh karena itu, penting bagi para pegawai negeri sipil sebagai bagian dari masyarakat Melayu untuk mengimplementasikan integritas dengan cara Adat Budaya Melayu di dalam pelayanan publik. Pegawai negeri sipil perlu memperhatikan peraturan sebagai sumber atau pedoman dalam memberikan pelayanan publik. Selain itu, pelaksanaan pelayanan publik dengan cara adat istiadat budaya melayu. Sebagai seorang pakar Linguistik, saya sangat mengapresiasi karya saudara H. Asnawi, S.Pd., M.Hum dengan judul buku "Fenomena Kesantunan Berbahasa dalam Pelayanan Publik" Semoga dapat menjadi pendorong bagi PNS lainnya guna menuangkan pengalaman, pengetahuan, keterampilan dan sikap dalam bentuk sebuah buku yang tentunya dapat dibaca oleh orang lain. Selamat atas terbitnya buku "Fenomena Kesantunan Berbahasa dalam Pelayanan Publik". Jangan pernah berhenti menulis dan teruslah untuk melakukan kebaikan-kebaikan. Semoga buku ini dapat menjadi sebuah inspirasi, inovasi serta referensi untuk pembaca demi menjunjung tinggi kesantunan berbahasa khususnya di tanah Melayu. Aamiin yaa rabbal alamin.


Pakar, 

Prof. Dr. Hj. Hasnah Faizah, M. Hum 

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)